Game Online dan Magnit Multikultural


“Mereka bukan manusia, tapi saya senang bermain dengannya,” demikian slogan di sebuah situs game online. Dalam ranah multimedia dewasa ini, manusia sepertinya menemukan sahabat-sahabat baru. Bersama mereka, manusia bisa saling bermain, berdialog, bahkan saling adu-strategi dan bertempur — suatu aktivitas yang sangat alami dan sangat dekat dengan kehidupan manusia.

Sahabat baru itu bernama game, suatu media virtual yang mewadahi penggunanya untuk bermain dan adu strategi untuk dapat memecahkan suatu persoalan dan memenangkan tantangan yang disajikan di dalamnya. Secara teknis, permainan ini dapat dinikmati dengan menggunakan komputer, televisi dan bahkan di ponsel.

Apa itu “permainan game”? Dalam pengertian yang luas permainan game berarti “hiburan”. Permainan game juga merujuk pada pengertian sebagai “kelincahan intelektual” (intellectual playability). Sementara kata “game” bisa diartikan sebagai arena keputusan dan aksi pemainnya. Ada target-target yang ingin dicapai pemainnya. Kelincahan intelektual, pada tingkat tertentu, merupakan ukuran sejauh mana game itu menarik untuk dimainkan secara maksimal.


Menurut Alan Shiu Ho Kwan (2000), setidaknya ada enam faktor yang melatari seseorang bermain games: adanya tawaran kebebasan, keberagaman pilihan, daya tarik elemen-elemen gam, antarmuka (interface), tantangan dan aksesibilitasnya.

Sejalan dengan makin membanjirnya para penggemar game ini, teknologi piranti lunak untuk permainan ini pun berkembang kian pesat. Dari sekadar video game berbasis PC atau TV yang dimainkan sendiri atau secara bersama (multiplayer) di sebuah medium yang sama, kini mulai bergerak menuju permainan yang terhubung secara online. Artinya, seorang pemain (player) akan bisa adu strategi dan ketrampilan dengan sejumlah pemain lain yang berada di belahan dunia yang lain. Keberadaan internetlah yang memungkinkan hal itu terjadi.

Tak salah lagi, game online akhirnya merupakan masa depan bagi para kreator game. Meskipun jalan menuju ke sana masih menemui kendala, terutama disebabkan oleh kemampuan teknologi yang belum maksimal, game online tetap menyimpan banyak harapan. Sony, Nintendo dan Microsoft misalnya, baru saja mengumumkan ambisi mereka untuk merancang suatu game interaktif — sesuatu yang sudah diprediksi banyak pakar sejak peluncuran Ultima Online tahun 1997.

Selain itu, permainan games online yang melibatkan tim-tim international maju selangkah lagi ketika Sony Online dan NCSoft bergandengan tangan dalam mengusung EverQuest ke Asia. Jelas, ini akan menggerakkan potensi multikultural dunia yang akan saling tersambung dalam suatu permainan universal dengan pilihan yang beragam.

Didasarkan pada waralaba Ultima yang kiprahnya cukup bagus, Ultima Online adalah genre game pertama yang sukses secara komersial. Sejak saat itu, segelintir game online — Everquest dan Lineage pengecualian utamanya – mulai mendatangkan keuntungan. Game online diperkirakan akan mampu mendongkrak keuntungan melampaui prestasi games tradisional berbasis CD yang mampu meraup US$ 6,5 miliar per tahun.

Sony mengungkapkan bahwa 70 persen pengguna gamenya menantang pemain lain secara online, sementara hanya empat persen yang bermain sendiri di komputernya. Berita buruknya: 60 persen penggemar game tidak mau membayar biaya tambahan untuk bermain game online. “Teknologi online adalah revolusi lanjutan video game dan itu secara fundamental akan mentransformasikan permainan game menjadi bentuk-bentuk hubungan sosial,” ujar J. Allard, GM Xbox.

Potensi multikultural yang ada di bumi ini menjadi magnit dalam menghubungkan jutaan penggemar game untuk saling “berkomunikasi” dengan cara mereka sendiri, yakni dengan “bertarung” lewat game.

Bagaimanapun, pertarungan lewat game jauh lebih positif, konstruktif dan berbudaya, ketimbang misalnya invasi Amerika Serikat ke Afganistan yang menewaskan ratusan jiwa dan menunjukkan kemunduran bagi peradaban.

ZUMA Flash Game







 
 
 
Free Automatic Backlink
Signup to Bukisa, Get Paid For Publishing your Knowledge!